Tak…, tek…, tok…, suara pukulan martil serta gemuruh suara gergaji dan
serutan menjadi rangkian bebunyian yang memadati pendengaran kita, saat
menjajaki kaki di Kampung Sleweran. Mulai dari pagi sampai sore hari, sejumlah
anak muda dan orang tua, serta tak ketinggalan beberapa orang anak, baik yang
masih sekolah atau yang putus sekolah ikut bekerja membantu orang tuanya
membuat aneka lemari dari bahan limbah
kayu. Untuk mengetahui lebih jauh tentang usaha kerajinan tersebut, wartawan
GESIT Adha Gunawan mendatangi pengrajin
limbah kayu yang berada di Kampung Sleweran, Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan
Tanah Sareal, Kota Bogor.
Awalnya, warga Kampung Sleweran menggeluti
usaha ini adalah karena rendahnya faktor ekonomi, apalagi setelah badai krisis
ekonomi melanda negeri ini, sedangkan tuntutan hidup seperti kebutuhan sandang,
pangan maupun papan harus tetap terpenuhi. Kondisi yang tidak menguntungkan itu
menjadi pemicu munculnya kreatifitas mereka, diawali dengan mencari dari mana
asal bahannya, kemudian bagaimana cara membuatnya, disusul dengan bagaimana
pemasarannya, tidak ketinggalan kendala apa saja yang akan dihadapinya.
Pada tahun 1999 sampai saat ini, dengan
keberaniannya untuk mencoba serta kemauannya yang tinggi untuk maju dan
berkembang, Asep Marwan (33) memberanikan diri untuk memulai menekuni usaha
yang hingga saat ini menjadi ladang yang menghidupi dirinya dan keluarganya.
Ketika ditemui disela-sela kesibukannya,
Asep mengungkapkan bahan mentah untuk membuat aneka lemari dan kerajinan
lainnya yaitu limbah kayu yang berasal dari hasil pembuangan pabrik besar
penghasil meubel yang ada di Bogor.
Untuk mendapatkan limbah kayu itu, ia membelinya dari penyalur dengan patokan
harga mencapai Rp 600.000 per 1 mobil box.
Kuantitas bahan mentah yang didpat
biasanya habis dalam jangka waktu 10 hari dan menghasilkan 20 unit lemari
ukuran kecil dengan patokan harga mulai dari kisran harga Rp 150.000 hingga Rp
170.000. Lain halnya jika ada orang memesan dan membuat disain sendiri harga
pun menyesuaikan dengan pesanan. “Untuk masalah harga tidak perlu khawatir.
Harga yang ditawarkan jauh dari harga pabrik,” tutur Asep.
Diakui, Asep, masalah pemasaran hingga
saat ini belum banyak orang yang mengetahui produksi para pengrajin ini. Dalam
melakukan penjualan mereka melakukan dengan cara dipanggul keliling masuk dari
satu kampung ke kampung lainnya di daerah Jakarta,
depok serta Bogor.
Media Promosi
Selain itu, media promosi dari mulut-kemulut
menjadi upaya lain untuk mengembangkan pasar. setelah banyak orang mengetahui
hasil produksi mereka, mulailah ada beberapa dari tengkulak atau konsumen yang
datang langsung ke bengkel pengrajin, terlebih lagi ketika ada salah satu
lembaga yang memfasilitasi para pengrajin untuk membuat sebuah paguyuban
pengrajin limbah furniture (PPLF).
Kehadiran lembaga tersebut awalnya
bertujuan untuk memudahkan kinerja para pengrajin dan mengefesiebkan tempat
mereka bekerja, karena di kampung tersebut saat ini terdapat sekitar 23
pengrajin lemari yang melakukan pekerjaannya di rumah masing-masing. Lembaga
tersebut mengharapkan dalam melakukan pekerjaan para pengrajin, terkonsentrasi
di satu tempat. Namun karena keterbatasan ruang keinginan itu belum bisa
diwujudkan. (Adha/Gesit)