Prosfek usaha ternak kelinci cukup
menjanjikan. Hal ini didukung banyaknya orang yang menyukai kelinci baik
kebutuhan konsumsi maupun sekedar memenuhi hobi untuk dipelihara. Menariknya,
beternak kelinci ini cukup mudah dan tidak memerlukan modal yang sangat besar,
dengan ketelatenan ditambah sedikit kretivitas pelaku usaha tersebut mampu
meraup keuntungan lumayan besar.
Setidaknya, itu dirasakan oleh Dedi Satria
warga Kampung Gunung Sodong Rt.03/02 Desa Cibeber 1 Kecamatan Leuwiliang
Kabupaten Bogor, yang telah lebih dari sebelas tahun menggeluti usaha ternak
kelinci, khususnya kelinci lokal.
“Keuntungan yang bisa diperoleh dari usaha
ternak kelinci, tidak hanya dari hasil menjual kelinci saja, tetapi feces
(kotoran) dan urine (air kencing) kelinci juga laku dijual dengan nilai cukup
tinggi,” ungkap Dedi mengawali perbincangan dengan Gesit.
Menurut Dedi, beternak kelinci prosfeknya
cukup cerah baik kelici lokal maupun hias. Ia sendiri lebih konsen
mengengembangkan usahanya di kelinci lokal. Pertimbangan kelinci lokal menjadi
pilihan karena segmen pasarnya bisa masuk kesemua kalangan.
“Kelinci lokal ini lebih gampang
menjualnya, karena harganya yang relative murah dan terjangkau semua kalangan. Di
pasaran lokal, satu ekor kelinci anakan usia 1 – 2 bulan harganya Rp13 ribu – Rp 15 ribu. Sedangkan indukan
berkisar Rp 65 ribu hingga Rp 80 ribu per ekor,” ujar Dedi.
Menurutnya, perawatan kelinci mudah dan
murah. Setiap hari kelinci diberi makan dua kali, pada pagi hari dan menjelang
malam. Makanannya rumput dan sayuran, serta makanan tambahan berupa bekatul
yang terbuat dari bahan dedak. Selain itu, kelinci juga memerlukan banyak minum
agar tidak mengalami dehidrasi. Kelinci sudah siap kawin ketika memasuki usia
enam bulan dan masa buntingnya relatif pendek, yakni 29 - 31 hari. Sekali
reproduksi kelinci beranak 5 - 12 ekor anak.
Pengembangbiakan kelinci di tempat Dedi dilakukan
secara sederhana. Kelinci diletakkan dalam kandang permanen. Setiap kandang
terdiri dari satu pasang. Setelah induk kelinci bunting, dipindahkan ke kandang
khusus sampai beranak.
Saat ini Dedi membudidayakan tidak kurang
dari 70 ekor kelinci indukan. Dalam satu bulan, ia mampu menghasilkan lebih
dari 50 ekor kelinci anakan. Kelinci tersebut dijual ke bandar atau tengkulak
untuk suplai kebutuhan pasar di wilayah Leuwiliang dan juga daerah Bogor lainnya.
“Selama beternak kelinci saya tidak
pernah kesulitan pasar. Dan menjualnya pun tak perlu repot-repot karena pembelinya
datang sendiri ke rumah. Macam-macam pembelinnya, ada tengkulak, pedagang sate
kelinci juga masyarakat biasa yang tertarik membudidayakan kelinci ” ucapnya.
Selain keuntungan langsung dari kelinci,
Dedi memperoleh keuntungan tambahan dari penjualan kotoran kelinci seperti
kotoran padat atau fecesnya dijual Rp 5.000 - Rp 6.000 per karung, sedangkan urin
kelinci dihargai Rp 1000 per liter.
“Kotoran kelinci memiliki nilai ekonomis,
yakni sebagai pupuk untuk tanaman. Konon pupuk kotoran kelinci ini kualitasnya
lebih bagus dibandingkan pupuk kandang dari hewan ternak lainnya,” katanya.
Memulai Bisnis Kelinci
Dedi mengaku, tahun 2000
merupakan awal segalanya dia memulai bisnis beternak kelinci. Ia terinspirasi
terjun di usaha tersebut saat mengamati kegiatan beternak kelinci yang banyak
dilakukan oleh warga di salah satu Desa di wilayah Sukabumi.
“Saya melihat mereka bisa hidup hanya dengan beternak kelinci, kenapa
engga saya coba,” pikir Dedi. Apalagi pada saat itu ia sedang menganggur baru
saja berhenti dari tempat bekerja di salah satus perusahaan swasta. Karena
ingin memiliki usaha sendiri dan mendapat penghasilan ekonomi setiap bulannya. Dari
situlah Dedi terdorong membudidayakan kelinci, dengan modal yang sangat
terbatas.
Sebagai permulaan Dedi memelihara satu
pasang kelinci. Selang satu bulan kelinci tersebut beranak 5 ekor, sayang
anakan kelinci itu mati semua. Tiba-tiba sebulan kemudian induk kelinci itu beranak
lagi 7 ekor, lagi-lagi anakan kelici mati juga semua. “Ini pasti saya salah
teknik dalam pemeliharaan anak kelinci.” cerita Dedi mengenang masa
lalunya itu. Dari pengalaman itulah ia belajar dan memberikan perlakuan khusus dalam pemeliharaan
anak kelinci.
Barulah
pada bulan ketiga anakan kelinci yang lahir masih dari indukan tersebut
berhasil ia pelihara hingga menjadi indukan. “Awalnya saya sempat heran, ini
kelinci kok tiap bulan bisa beranak. Wah ini prosfektif sekali bisa
mendatangkan uang,” sebut Dedi. Lantas ia langsung membangun kandang yang
biayanya dari hasil menjual anakan kelinci.
Berkat ketekunan dan kesabaran dalam membangun usahanya, kini
Dedi telah memetik berkahnya. Dari beternak kelinci, setiap bulan ia dapat
mengantongi omset sebesar Rp 1 – 2 juta.
Keberhasilan Dedi mengelola usaha ternak
kelinci santer terdengar di wilayah Bogor.
Banyak warga sekitar merasa kagum dengan kiprahnya. Sebagai peternak kelinci ia
dianggap menguasai seluk-beluk budidaya dan bisnis kelinci. Mulai cara membuat
kandang yang baik, memilih indukan, mengatur masa kawin kelinci, mengatasi hama dan penyakit, hingga
cermat dalam membaca peluang pasar.
Tak heran jika
dirinya banyak disambangi berbagai kalangan yang datang untuk belajar budidaya
kelici. Salah satu diantaranya, Ocih, warga Kampung Pasir Hihid Desa Hambaro
Kecamatan Nanggung.
“Saya bisa membudidayakan kelinci caranya
belajar dari Pak Dedi. Pak Dedi itu orangnya rendah hati dan tidak pelit dengan
ilmu. Beliau suka membantu siapapun yang ingin belajar berbisnis kelinci.,”
ucap Ocih yang mengikuti jejak Dedi dalam usaha ternak kelici. (Pepen/Gesit)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar